Pernahkah kita berpikir bahwa pelajaran matematika bisa membawa kita lebih dekat kepada Allah? Di ruang kelas, ketika guru memperkenalkan bilangan imajiner, konsep yang muncul dari akar kuadrat bilangan negatif. Mungkin sebagian siswa bertanya-tanya, “Apakah ini benar-benar nyata?” Pertanyaan itu wajar, bahkan menjadi awal dari sebuah refleksi mendalam: Apakah sesuatu yang tidak terlihat berarti tidak ada?
Di sinilah pendidikan sejati mengambil tempat. Ia bukan sekadar mengajarkan rumus, tetapi mengajak kita merenung.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an tentang orang-orang yang beriman kepada yang ghaib (QS. Al-Baqarah: 3). Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering diajarkan untuk mempercayai hal-hal yang dapat diindera. Namun, bilangan imajiner justru mengajarkan sebaliknya: bahwa akal manusia mampu memahami sesuatu yang tak tampak, asalkan ia berpijak pada ilmu dan keteraturan.
Ketika kita menerima konsep , sesungguhnya kita sedang belajar percaya. Tidak sekadar percaya kepada simbol, tetapi percaya bahwa ilmu memiliki ruang-ruang yang tak selalu bisa dijelaskan secara visual. Ini sama halnya dengan keimanan ada keyakinan yang bersumber bukan dari penglihatan, tapi dari hati yang memahami dan akal yang berpikir.
Sering kali, kita merasa bahwa pemahaman rasional adalah kunci dari segalanya. Namun bilangan imajiner mengingatkan kita pada satu hal penting: akal pun memiliki batasnya. Dulu, matematika menolak akar dari bilangan negatif. Tetapi ketika batasan itu dilampaui, kita temukan dunia baru yang penuh manfaat. Dari sinilah kita belajar bahwa ilmu pengetahuan bukan tempat untuk keangkuhan, tapi ruang untuk kerendahan hati.
Dalam dunia pendidikan Islam, ini menjadi pengingat yang kuat, semakin luas ilmu yang kita pelajari, semakin kita menyadari keterbatasan diri, dan semakin tunduk kita kepada Sang Maha Mengetahui.
Setiap rumus matematika adalah cermin dari keteraturan semesta. Maka, bilangan imajiner bukanlah kesalahan logika, tetapi keindahan dari sistem yang lebih besar. Di sinilah peran guru begitu penting, tidak hanya menjelaskan cara menghitung, tetapi mengajak siswa melihat keindahan Allah dalam keajaiban angka-angka.
Pendidikan bukan hanya soal menjawab soal dengan benar, tetapi juga soal membangun kesadaran. Apa makna dari yang kita pelajari? Untuk apa ilmu ini kita gunakan? Dan bilangan imajiner, dengan segala keunikannya, memberi ruang bagi pertanyaan-pertanyaan itu.
Pada akhirnya, bilangan imajiner mengajak kita untuk merefleksikan satu hal penting: bahwa dalam hidup ini, tidak semua hal bisa dijangkau oleh logika atau mata kita. Namun bukan berarti hal itu tidak nyata. Seperti halnya cinta, ketulusan, atau keimanan. Semuanya tak tampak, tapi sangat terasa. Maka, di balik pelajaran matematika yang tampaknya kering, tersimpan ladang subur untuk menumbuhkan iman dan kesadaran spiritual.
Author: Noki Agustiardi,S.Pd.