Dalam sejarah peradaban Islam, ada sedikit tokoh yang mampu menjembatani dunia logika dan keindahan seperti Omar Khayyam. Ia adalah sosok yang unik seorang matematikawan, astronom, filsuf, sekaligus penyair. Dalam pandangan saya, Omar Khayyam adalah representasi sempurna dari apa yang disebut sebagai ulul albab: orang-orang yang berpikir mendalam, merenung, dan mencari kebenaran tidak hanya lewat angka, tetapi juga melalui makna.
Omar Khayyam lahir pada abad ke-11 di Nishapur, Persia (sekarang Iran), dan dikenal luas karena karya puisinya, Rubaiyat, yang berisi renungan-renungan eksistensial. Namun, yang sering luput dari perhatian publik adalah kontribusinya yang luar biasa dalam matematika, khususnya dalam aljabar dan geometri.
Dalam bidang aljabar, Khayyam menulis risalah penting yang membahas solusi geometris untuk persamaan kubik. Sebuah pencapaian yang sangat visioner untuk zamannya. Ia secara sistematis mengklasifikasikan berbagai bentuk persamaan kubik dan mencoba menyelesaikannya menggunakan perpotongan kerucut. Konsep ini baru dikembangkan lebih jauh oleh matematikawan Eropa ratusan tahun kemudian. Artinya, Omar Khayyam sudah melihat jalan menuju matematika modern jauh sebelum Renaisans menyadarinya.
Yang menarik, meskipun ia tidak memiliki simbol aljabar seperti yang kita gunakan sekarang, cara berpikirnya sangat konseptual dan mendalam. Ia tidak sekadar mencari solusi angka, tetapi ingin memahami struktur dan hubungan di balik suatu persamaan. Dalam hal ini, Khayyam bukan hanya seorang pemecah masalah, tetapi juga seorang pemikir yang menggali dasar filosofis dari matematika itu sendiri.
Namun kontribusi ilmiahnya tidak berhenti di situ. Omar Khayyam juga menjadi salah satu arsitek reformasi kalender yang sangat presisi. Bersama tim ilmuwan di bawah Sultan Malik Shah, ia menciptakan Kalender Jalali, kalender matahari yang bahkan lebih akurat daripada kalender Gregorian yang digunakan secara luas saat ini. Ini menunjukkan bahwa Khayyam tidak hanya hidup di dunia teori, tapi juga menghasilkan aplikasi nyata yang berdampak luas.
Yang membuat saya sangat menghargai sosok Omar Khayyam adalah keseimbangan antara logika dan seni, antara keraguan dan keyakinan, antara angka dan puisi. Di satu sisi, ia mampu menghitung lintasan bintang dengan akurasi tinggi, namun di sisi lain ia juga merenungi kefanaan hidup dan misteri takdir melalui bait-bait puisi yang mendalam. Hal ini menjadi pelajaran penting bahwa menjadi ilmuwan tidak berarti mematikan sisi humanis justru, keduanya bisa berjalan berdampingan.
Di era modern yang sering kali terjebak dalam dikotomi, antara ilmu dan seni, sains dan spiritualitas. sosok Omar Khayyam hadir sebagai inspirasi. Ia menunjukkan bahwa seorang ilmuwan tidak harus kering dari rasa, dan seorang penyair tidak harus jauh dari logika.
Mengingat Khayyam berarti mengingat bahwa Islam pernah melahirkan intelektual yang utuh rasional dalam berpikir, spiritual dalam merasakan, dan kreatif dalam mengekspresikan. Mungkin sudah saatnya kita belajar kembali dari warisan seperti ini agar ilmu pengetahuan kembali menyatu dengan kebijaksanaan, bukan hanya sebagai alat, tetapi juga sebagai jalan untuk memahami kehidupan yang lebih dalam.
Author: Noki Agustiardi,S.Pd.