Jika hari ini kita bisa membaca waktu dengan presisi, menghitung awal bulan, menentukan jadwal salat, hingga memprediksi gerhana dan lintasan planet, maka sebagian besar dari itu berakar pada warisan para ilmuwan Muslim yang mengabdi dalam senyap. Di antara mereka, nama Al-Battani (Albatenius di Barat) bersinar sebagai bintang dalam sejarah ilmu astronomi dan matematika Islam.
Abu Abdallah Muhammad ibn Jabir ibn Sinan Al-Battani (sekitar tahun 858–929 M) adalah ahli falak dan matematikawan dari Harran (sekarang Turki) yang mempersembahkan hidupnya untuk mengamati langit. Melalui pengamatan dan perhitungan yang sangat teliti, Al-Battani menyusun karya besar Kitab al-Zij yang menjadi referensi ilmuwan Eropa berabad-abad kemudian, termasuk Copernicus.
Salah satu sumbangsih terbesarnya adalah penyempurnaan perhitungan gerak matahari dan bulan, serta perhitungan panjang tahun matahari yang sangat mendekati akurasi modern. Ia menghitung bahwa satu tahun tropis berlangsung 365 hari, 5 jam, 46 menit dan 24 detik, hanya berbeda kurang dari dua menit dari hasil perhitungan dengan teknologi masa kini, tanpa teleskop, tanpa satelit, hanya dengan pengamatan, dedikasi, dan iman.
Al-Battani juga menyumbangkan perhitungan tentang kemiringan sumbu bumi, mengembangkan trigonometri bola, dan menyusun metode untuk menentukan waktu-waktu salat, arah kiblat, dan awal bulan berdasarkan pergerakan benda langit. Dalam Islam, waktu adalah amanah, dan langit adalah petunjuk Al-Battani menyatukan keduanya menjadi ilmu yang memandu peradaban.
Dalam dunia yang terus berpacu dengan waktu, sering kita lupa bahwa konsep waktu dalam Islam bukan sekadar hitungan detik, melainkan bagian dari ketundukan kepada irama semesta yang ditata oleh Allah. Setiap detik adalah tanggung jawab, setiap rotasi bumi adalah tanda kebesaran-Nya. Al-Battani tidak sekadar menghitung waktu, ia memaknainya sebagai ibadah.
Tanpa Al-Battani, kalender Islam tak akan setepat hari ini, dan ilmu navigasi zaman dahulu tak akan mengenal arah yang benar. Bahkan metode dalam GPS modern dan perangkat astronomi digital banyak yang berakar dari rumus-rumus trigonometri langit yang ia kembangkan. Ia membuktikan bahwa iman dan sains bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan satu jalan menuju kebenaran dan keteraturan ciptaan.
Yang luar biasa, Al-Battani mengerjakan semua ini bukan demi gelar, penghargaan, atau ketenaran. Ia bekerja dengan kesabaran, malam demi malam memandangi langit, mencatat pergerakan bintang dan planet, menghitung, mengoreksi, dan merekam ulang. Kesabaran dan ketekunan menjadi bagian dari ilmu itu sendiri. Ia mengajarkan bahwa sains bukan sekadar pencapaian teknis, tetapi perjalanan jiwa menelusuri tanda-tanda Tuhan.
Refleksi ini membawa kita pada pertanyaan penting bagaimana kita memaknai waktu hari ini? Apakah kita sekadar membiarkannya berlalu, atau justru mengisinya seperti Al-Battani dengan penelitian, tafakur, dan kontribusi nyata bagi umat manusia? Waktu, seperti langit, terus bergerak dan kita akan dipertanggungjawabkan atas setiap putarannya.
Di era digital ini, ketika aplikasi penunjuk waktu, arah kiblat, dan perhitungan bulan Hijriah tersedia dalam genggaman tangan, kita seharusnya tidak lupa bahwa di balik itu semua ada para pemikir seperti Al-Battani yang merintis jalan dengan pengorbanan dan keyakinan. Mereka adalah penjaga waktu sejati, bukan karena mereka menguasainya, tapi karena mereka menyelaraskan hidup dengan irama Ilahi.
Author: Noki Agustiardi,S.Pd.